Bukan Sajadah Cinta

Hari Minggu pada hari itu diisi dengan guyuran hujan yang lebat. Malaikat Mikail menunaikan tugasnya dengan khusu’ lillahi ta’ala… Tak tergoyahkan. Sungguh, doa tulus dari sekumpulan orang yang berkemah, memohon agar hujan reda sebentaar saja, agar Malaikat Mikail istirahat sebentaar saja, tidak tergubriskan oleh sang Empunya Pemberi Tugas. Perkemahan itu sepi, tidak ada aktivitas yang luar biasa. Yaa, karena hujan itu, pang… Perkemahan yang biasanya seru, kali ini terasa membosankan, ditambah dingin akut yang rawan membuat angin hilir mudik, lalu-lintas melewati pori-pori di seluruh badan. Walaupun begitu, tidak di hati seorang anak perempuan. Ia yang tetap tertawa riang, dalam sebuah tenda diantara kerumunan tenda-tenda yang hampir roboh diterjang hujan, yang sesekali diikuti angin. Ia bahagia. Berusaha bahagia, tepatnya. Bahkan sampai siang hari, ketika satu per satu rombongan peserta kemah membongkar tendanya, walau tampak wajah-wajah kecewa, tapi tidak di satu wajah itu. Ia tetap tersenyum. Sesekali menampilkan lesungnya yang malu-malu.

Malaikat Mikail masih setia dengan tugasnya. Pun, ketika satu mobil yang tertolak pergi meninggalkan arena perkemahan. Di dalam mobil pick up, yang di sulap jadi angkot sederhana, wajah anak perempuan itu tetap sering tersenyum, bahkan sesekali dengan tawa yang menggelak. Seseorang lainnya berusaha menghangatkan suasana, melawan dingin yang kian akut. Di dalam mobil itu, sekumpulan anak berseragam coklat tua-coklat muda duduk berhimpitan, berusaha menciptakan kalor dari kumpulan radiasi panas tubuh masing-masing.

Anak perempuan itu, aku. Disamping kiriku, duduk seorang temen cowok. Dia duduk mendekap gitarnya. Sesekali bunyi genjrang-genjreng dari petikan tangannya. Diiringi nyanyian siapa aja yang mau nyanyi, di dalam mobil itu. Ada yang lucu sedikit saja, aku tertawa, aku tersenyum. Tidak peduli suasana gemana, aku tetap tersenyum. Aku bahagia. Lebih tepatnya, mencoba bahagia.

“Aisyah. Kamu itu ya.., seneng-seneeng aja, sekarang. Kalau besok sedih gemana?” tegur si Cowok  itu. Dia berbisik kepadaku.

Oalah, aku lupa…!! Besoknya adalah hari Senin, hari pengumuman apakah aku akan tetap di SMP atau aku akan melaju ke SMA. Memasuki masa-masa yang katanya adalah masa paling indah semasa sekolah.

Mendengar bisikannya itu, sejenak aku tersadar. “Iya, ya… sekarang aku bahagia, seneng-seneng. Ketawa-ketawa. Jangan-jangan besok aku malah nangis. Aku gak lulus sekolah.” Aku membatin. Ya ampun, tersugesti dengan ucapannya.

Setelah tegurannya, aku berusaha tenang. Malah, berusaha bersedih. Tapi aku gak bisa! Aku bahagia. Ya, mencoba bahagia. Dari mencoba itu, ternyata aku benar-benar bahagia.

“Sandi, kenapa kamu menegur aku bahagia? Kamu nggak suka aku bahagia?? Padahal aku bahagia karena aku berada di dekat kamu selama beberapa hari dari kemaren. Belum tentu kan, setelah hari ini aku bisa bersama kamu lagi… Sandi, biarkanlah aku bahagia, hari ini saja… Aku minta izin untuk bahagia, ya…” Hatiku membisik. Dalam tatapan mata tulusku, hatiku berkata banyak padanya. Ah, jika dia bisa bahasa telepati. Pasti dia akan tahu. Dan dia pasti tidak akan menegurku seperti itu. Karena dia orang baik, yang akan membiarkan orang lain berbahagia karenanya.

Hari Senin tiba.

Hari itu datang justru dengan kebahagiaan yang berlebih. Aku lulus SMP. Dengan nilai terbaik di sekolah. Aku bahagia. Sungguh. Hatiku lebih banyak berkata-kata. Mengucap makasih pada Allah swt. Kali ini, Allah pasti tahu bahasa hatiku. Allah pasti bisa bahasa telepati.

Aku menunggu di lorong sekolah. Menunggu teman-teman keluar kelas. lebih tepatnya menunggu Sandi. Aku menunggunya sambil aku melihat beberapa tingkah lucu teman-temanku menanggapi kelulusan ini.

Aku menunggu Sandi, temanku. Bukan teman biasa, dia sahabatku. Dialah yang memproklamasikan persahabatan kami. Aku dan dia, si cowok itu. Sandi. Karena bukan momen yang membuatku bahagia, aku cenderung tidak ingat kapan pembacaan proklamasinya. Tahu-tahu, aku dan dia sudah dekat. Tapi tidak sekedar tahu aja, aku mencatat beberapa dari dia. Aku mencatat beberapa tentang dia.

Aku berjalan menuju musola sekolah, tiba-tiba…..

Gubrak, gubrak, gubrakkk…!!!

Suara orang berlari di lorong sekolah. Lantai yang terbuat dari kayu, menyanyi sangat merdu mengiringi langkah-langkah gagah itu.

“Mother, aku lulus…!!” seseorang berteriak di telingaku. Diiringi dengan pelukan tiba-tiba dari belakang. Sesaat terdiam. Lalu aku menoleh.

“Lulus, Sandi?! Alhamdulillah…!!” Aku tak kalah berteriak.

Seorang teman datang lagi.

“Iyan, gemana?” Aku bertanya. Dia adalah teman dudukku selama di kelas tiga.

“Aku gak berani buka. Nanti dirumah aja ah…” Iyan menjawab.

“Ah, kamu licikan. Buka nah, Yan…” Sandi memaksa.

“Kamu yang buka, aku nggak berani.” Iyan menyerahkan amplopnya ke Sandi.

Dengan tangan gemetar, Sandi menyobek amplop Iyan.

Sesaat terdiam. Membaca dalam hati isi amplop itu, lalu…

“Lulus, Yaan…!!” Sandi berteriak.

“Iya…??!!” Iyan terbelalak.

“Iya…” Sandi meyakinkan.

“Aaaaa……!!!!” aku, Sandi dan Iyan sama-sama berteriak. Kami berpelukan bertiga.

“Aku lulus…!!!” Danis datang menubruk kami tertiga.

“Aaaaa…..!!!!!” teriak kami berempat.

“Aaaaa……!!!’ aku berteriak. “Aku nggak bisa napas….!!!” teriakku lagi. Dan itu membuat mereka nyadar, kalau kami berpelukan dengan menjadikan aku pusatnya. Dikerubuti mereka bertiga, membuat aku nggak bisa napas.

Pelukan terlepas.  Kami saling pandang. Saling lempar senyum. Tangan terentang dan loncatan kegembiraan itu tidak bisa ditahan. Lalu, “Aaaaaa…..!!!” Masing-masing berteriak.

Di kelas tiga SMP. Aku duduk dengan Iyan. Danis adalah temanku yang duduk di belakangku. Kami anak B. Sedangkan Sandi, dia beda. Dia anak A. Tapi, aku sama dia akrab. Dan Sandi yang terspesial buat aku. Dia sahabatku.

******

SMA.

Aku, Iyan, Sandi, dan Danis berbeda sekolah. Masing-masing masuk sekolah impiannya. Melangkah menapaki tangga cita-cita. Awal-awal berpisah surat masih sering mampir dalam tanganku tiap minggunya. Hanya dari Sandi. Sahabatku. Tapi, lama-lama….

Persahabatan ini jadi rumit. Aku terlalu hati-hati dalam menjaga persahabatan ini. Sehingga persahabatanku dengan Sandi menjadi manja. Persahabatan ini tidak tahan banting. Satu keadaan, aku malah membuatnya kecewa. Aku membuat Sandi kecewa padaku. Aku membuat Sandi marah. Dan ini adalah awal hari-hariku tanpanya sama sekali.

Kelas dua SMA….

“Untuk tahun ini, nilai terbaik di kelas ini diraih oleh….” dag dig dug dor, rasanya aku bisa mendengar degup jantung seluruh teman yang yang ngintip di pintu kelas. rasanya napas ini sendat-sendat ketika Ibu Santi membuat jeda di pengumuman nilai tertinggi pembagian rapor kali ini.

“Selamat kepada ananda Aisyah..  untuk semester ini kembali mendapatkan nilai yang terbaik. Untuk rata-rata semua mata pelajaran.” Aku tidak mendengar apa yang dikatakan ibu Santi selanjutnya. Karena satu energi telah menarikku untuk mengambil langkah sepuluh ribu menuju mushola sekolah. Aku sujud syukur. “Makasih Ya Robb…” desahku…

Dihari yang sama, siang harinya..

“Ayah, Hadiah….” aku merengek manja di boncengan motor ayahku.

“Minta sama Mamahmu loh…” balas ayahku.

“Iiih…!!” aku manyun.

Hari berikutnya, ketika ku pulang nyuci baju dari sungai. Kudapati sebuah bungkusan dilemariku.

Ah, sebuah hape. Yeeee…..!!! akhirnya aku punya handphone. Satu babak baru dalam hidup aku.

Suatu hari disaat liburan semester.

Aku pernah ketemu sandi satu kali. Minta maaf atas semua kesalahanku. Dan aku mengajaknya meninggalkan persahabatan yang telah kusut ini dan memulai merajut yang baru saja. Dengannya. Berbicara di telepon dengan Sandi juga satu kali. Disitulah, aku tahu Sandi punya nomor hapeku.

Hmmm…, sekarang seharusnya, jarak bukan masalah lagi antara aku dengan Sandi. Tapi kenyataannya, persahabatan ini sudah sangat retak. Dan dia, sangat terluka. Meskipun aku balut dengan perban terbaik, luka Sandi tetap menganga. Meskipun aku sterilkan lukanya dengan air tersuci pun tetap saja, luka itu berdarah. Bahkan air mataku, malah membuat lukanya semakin parah, infeksi.

Suratnya dulu, begitu membanjiriku. Tapi, di kelas dua ini, setelah ada handphone, untuk sebuah SALAM saja…..

Suatu malam ketika jam putih di dinding kamar kos menunjukkan ke angka 8.

Ting-ting, ting-ting..

Sebuah tangan memungut hape. Memencet tobol-tombolnya. Lalu tersenyum. Hal yang sama berulang beberapa kali. Bahkan dia tertawa-tawa. Kuamati saja. Dia, Maemunah. Temen SMP. Dulu dia di kelas A. Sama dengan Sandi. Dan sekarang, Mae satu kost denganku.

“Ais, salam dari Sandi nich…” Mae mengabarkan.

“Wa alaika wa alaihi salam.” Jawabku pendek dengan tidak mengalihkan pandanganku pada buku yang sedang kubaca.

Hatiku, pikiranku bukan konsen ke apa yang sedang ku pelajari. Tapi ia mengembara kemana-mana. mencari sang empunya pengirim salam. Menuntutkan sebuah pertanyaan, “Kenapa??”. Pertanyaan itu saja. Kenapa. Ya, kenapa. Kenapa untuk sebuah salam saja dia hanya SMSkan lewat temen satu kosku. Padahal, dia punya nomor hapeku. Mungkin kesalahanku di waktu dulu itu memang tak termaafkan lagi?

“Sandi, maafkana aku. Maafkan aku.. Maafkan aku…” hanya kata itu yang masih bisa aku ucapkan dengan bibirku, dengan hatiku. Bahkan dalam sujud malam-malamku, sering kusebut namanya. Meminta pada yang memiliki hatinya, agar satu uratnya saja bisa menawanku kembali. Sang pemilik hati Sandi mungkin masih ingin mengetahui kesungguhanku.

SMA kelulusan.

Hambar sekali. Katanya masa SMA, masa paling indah, tapi buat aku, SMA masa yang menyedihkan. Kenapa? Karena nggak ada Sandi. Bahkan, ketika amplop putih kembali ke tanganku, aku tidak membukanya untuk waktu beberapa jam.

“Aku tahu, aku pasti lulus, meskipun bukan yang terbaik. Hmmm, untuk apa aku buka.” Hatiku berawan. Aku tidak bahagia. Aku malah memikirkan Sandi. Tidak ada Sandi di sini. Tidak ada yang memelukku kali ini. Aku rindu Sandi. Rindu panggilan “Mother”nya. Aku rindu pelukan satu-satunya dari dia. Ah, Sandi… Pasti dia juga lulus. Pasti dia bahagia. Siapa yang dia peluk kali ini ya…?? dan siapa yang sekarang dia panggil Mother ya…??

Aku berjalan menyusuri lorong SMAku. Seorang diri. Sepi. Bunyi sepatuku sumbang mengiringi langkah-langkah gontaiku. Satu-satunya yang menyambut kelulusanku di ujung lorong adalah ayahku. Dia bahagia. Aku tidak. Sangat tidak.

*****

Kenapa perasaanku sebegitunya kepada Sandi?

Untukku. Dia bukan sekedar teman SMPku. Bukan sekedar sahabatku. Dia pernah hadir di masa kecilku. Bukan teman sekolahku, tapi dia teman ketika sama-sama ngaji di Langgar Abah. Yang kuingat darinya, Dia itu orang yang mengajariku trik bermain Sulap Karet Gelang. Permainannya sederhana. Permainan anak tahun 90an. Karet merah di tangan kanan, karet hijau di tangan kiri, pat gulipat, selempit sana-selempit sini, teng terenggg…, bisa bertukar posisi. Sederhana sekali. Tapi aku suka. Bukan hanya suka permainannya saja, suka juga melihat dia tertawa senang ketika sukses menjahiliku. Matanya sipit. Tapi dia bukan orang cina. Dia hitam. Blackbeauty gitu. Kalau tertawa, matanya ilang, aku suka itu. Saat itu aku masih TK. Dia itu seingatku dulu sudah SD, sebutannya kakak kelas. Meskipun akrab. Sayang sekali, aku tidak tahu namanya. Mungkin pernah tahu, tapi alam bawah sadarku tidak menyimpannya. Aku tidak tahu perasaan apa yang terjadi ke aku. Yang aku tahu, ketika dia pindah ke daerah lain, aku sangat kehilangan dia.

Ketika SMP, aku bertemu dia lagi. Ada semacam sensor yang menjadikan aku yakin kalau itu adalah Sandi. Sandiku. Dari masa MOS, aku sudah nge-tag dia. Menandainya bahwa dia adalah teman kecilku dulu. Teman yang kurindukan. Teman, yang dengan ketidakadaannya membuatku sangat kehilangan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, kenapa di SMP aku dan Sandi jadi satu angkatan. Meskipun dia di kelas A dan aku kelas B. Itu cukup membuatku bahagia. Dan lagi, aku sekarang bisa tahu namanya dengan jelas, SANDI. S. A. N. D. I. Dan aku bisa menuliskan dan juga mengingatnya selama dan sebanyak yang aku bisa.

Semakin hari di SMP aku semakin akrab dengan dia. Perasaan di masa kecilku tumbuh lagi. Perasaan yang kemudian ku kenal sebagai cinta pertama. Perasaanku ke dia memang nggak pernah mati. Ia hanya koma. Dan komanya sangat parah, ketika Sandi memproklamasikan persahabatan kami. Aku tidak mau mengingat kapan proklamasi itu diselenggarakan. Proklamasi persahabatan. Karena hal itu sangat menyakitkan untukku. Dan otak manusia cenderung melupakan hal-hal yang menyakitkan. Sandi memang tidak pernah tahu perasaanku. Ntahlah. Ntah benar-benar tidak tahu atau, tidak mau tahu. Aku tahu dia tidak buta, melihat sikapku, perhatianku. Mungkin saja dia nyamannya menjadikanku sahabat. Bukan pacar. Atau mungkin saja, aku bukan tipenya. Aku dengan wajah berminyak penuh jerawat, berjalan selalu tertunduk. Tidak punya keahlian yang wah. Sementara dia, tampan, tinggi, populer, seorang atlet sekolah. Ah, mungkin saja karena itu maka Sandi….

****

KULIAH.

Yee….!! sekarang aku jadi mahasiswa…!! Di kuliah ini, aku semakin dewasa. Banyak belajar. Belajar banyak. Mengenai agama, meskipun tidak ada dalam daftar SKS yang harus kulunasi selama kuliah ini, aku tetap mempelajarinya. Pun mengenai hubungan cowok-cewek dalam agamaku. Tapi itu tidak menyurutkan perasaanku ke Sandi. Hari-hariku. Waktu-waktuku. Doa-doaku. Selalu berhiaskan namanya. Sandi. Aku meminta pada yang mempunyai hatinya supaya minimal, hati Sandi memaafkan aku. Biarlah, jika aku tidak bisa bersamanya seperti dulu. Apalagi mendampingi di sisa hidupnya.

Allah, sang pemilik semua hati manusia mendengarkan permohonanku. Dalam satu waktu aku bisa berkomunikasi lagi dengan Sandi. Ah, alhmadulillah ya Robb… Telpon, SMS, bertemu sesekali kalau aku liburan. Dalam masa ini banyak hal yang aku dan Sandi bicarakan. Mengenai persahabatan yang kunodai dengan satu kesalahan. Mengenai masa depan. Dan mengenai kira-kira dengan siapa aku dan Sandi bakal menikah. Dalam satu kali telponan ketika membahas pernikahan dengannya, mataku terpejam. Hatiku perih.

“Ah, Sandi. Bisakah kita hentikan percakapan ini?” Aku membatin. Tapi lagi-lagi, Sandi tidak bisa bahasa telepati. Jadinya dia tidak tahu bahasa hatiku.

“Sandi… Kalau Kamu menikah dengan perempuan lain. rasanya sakit. Pedih. Buat aku. Bahkan di saat aku belum melihat. Bahkan malah membayangkannya pun belum. Aku sudah takut Sandi. Sangat takut. Takut kalau itu terjadi.” hatiku membadai. Tapi aku dan dia kan bertelpon, jadi dia tidak tahu sungai yang membandang di pipiku. Aku tetap berusaha menjadi aku yang dia kenal. Aku, teman SMP yang ceria yang dia tahu. Padahal, aku sudah banyak berubah. Hanya perasaanku ke dia yang tidak berubah.

“Kalau kamu menikah…” ucapnya merdu sekali.

“San, stop San…!!” hatiku berontak. Tapi mulutku kaku. Nggak bisa berucap apa-apa.

“Aku yakin, dengan pribadi kamu. Dengan kebaikan kamu. Dengan ketulusan kamu. Dengan sepenuh hati kamu, kamu bakal menjadi istri yang setia, istri yang sholehah…” ucapan dia sangat merdu di telingaku. Beberapa titik mutiara berguguran. Ucapannya, sejuk. Terasa bagaikan denting nyanyian para bidadari surga yang membelai hatiku. Membalut rasa bersalahku yang akut.

“Aamiin..” hanya suara itu yang lolos dari bibirku. Hanya itu yang Sandi dengar. Sementara hatiku, “Sandi… katakanlah, “Kalau kamu jadi istriku, aku yakin kamu akan menjadi istriku yang setia…, istriku yang sholehah..” katakanlah Sandi, katakanlah….” dalam ‘aamiin’ itu terasa sekali pedihnya di hati ini.

Percakapan kala itu, sedikit membasuh rasa bersalahku. Aku merasa masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku. Dan ucapan adalah doa. Aku ingin menjadi pembuktian betapa Allah Maha mengabulkan doa-doa. Aku ingin menjadi pembuktiannya. Aku ingin menjadi istrinya Sandi. Aku ingin menjadi istri yang setia untuk Sandi. Istri yang sholehah untuk Sandi. Untuk Sandi. Hanya untuk Sandi. Dengan itu, aku ingin membalut luka-luka yang pernah kugoreskan padanya.

Aktivitasku sebagai budak tugas-tugas kampus, dan aktivitasnya sebagai salah satu jajaran petinggi suatu perusahaan akhirnya membuat jarak itu kembali terasa. Sampai suatu hari di jejaring sosial, beberapa info aku tahu kalau dia punya pacar.

Aku menghibur hatiku. Ah, cuma pacar, kok.

Sampai kemudian….

Ting, ting. Ting, ting.

Sebuah SMS masuk hapeku. Mamah. Tertulis sebagai nama pengirim pesan itu.

“Ais, Sandi mau nikah minggu depan. Kamu mau ngado apa??”

Bukan lagi badai topan halilintar gempa tsunami ledakan bom yang kurasakan. Bukan itu lagi. Ntahlah. Aku tidak bisa bernapas beberapa detik. Mataku tidak bisa fokus dalam beberapa jam. Detak jantungku bermaraton ria. Bahkan aku meledakkan radiasi energi panas secara berlebihan. Yang membuat aku kehilangan banyak panas tubuhku. Aku perlu seharian untuk memulihkan kondisiku. Aku sembunyi di balik gulungan kasur dan selimut tebal. Berusaha menormalkan radiasi badanku.

“Ntar aku hubungi bibi aja. biar aku diskusikan dulu.” Akhirnya sms mamah aku balas pada malam harinya. Setelah hatiku mulai tenang. Dan sedikit energiku telah pulih kembali.

Diskusi yang panjang menghasilkan “sajadah” sebagai kadoku untuk pernikahan Sandi. Aku memilih bibi sebagai teman diskusi, karena dia seumuranku. Dan dia yang banyak tahu mengenaiku. Perasaanku ke Sandi. Sajadah itu. Ntahlah, hanya berharap saja kalau sajadah itu akan menemani sujud-sujudnya. Ntah itu Sandi ataupun istrinya. Berharap saja aku, kalau sajadah itu akan menghubungkan dengan erat antara Sandi serta istrinya dengan sang pemilik hati keduanya. Dan berharap saja aku kalau suatu saat frekuensi gelombang doa-doaku terdahulu, berinterferensi dengan gelombang doa-doanya. Suatu saat nanti. Walaupun bakal menjadi sebuah interferensi yang konstruktif ataupun destruktif, aku nggak peduli. Yang penting, gelombang doaku dan doanya, Sandi. Pernah berinterferensi.

Aku tidak berharap lagi mendampingi Sandi dalam sisa umurnya. Karena Sandi sudah menemukan pendampingnya. Aku juga tidak berharap lagi Sandi kembali menjadi Sandiku yang dulu, untuk aku. Mungkin saja di Lauh Mahfudz, sejak zaman ajali, Allah tidak menuliskan kalau Sandi itu untuk aku…

Di ke sekian hari bahagianya. Dalam derai ketulusanku. Sekali lagi aku berdoa untuk Sandi. Berdoa kepada yang memiliki hatinya.

“Ya Allah, ya Robb… yang menguasai arah Utara, Selatan, Timur dan Barat. Yang menguasai atas dan bawah. Yang menguasai depan dan belakang. Yang menguasai kiri dan kanan. Yang menguasai yang tampak dan kasat mata. Yang memegang hati seluruh umat manusia. Aku mau minta supaya Engkau meng-unreg doa-doaku terdahulu yang meminta hati Sandi bisa menawanku, memenjarakanku, walau dalam satu uratnya saja. Aku, dalam doaku hari ini, aku meminta dengan segala kekuasaanMu supaya meng-unreg semua itu…

Ya Allah, ya Robb… Aku berdoa kepadaMu, supaya Sandi dan istrinya bahagia dunia dan akhirat. Dikaruniai anak-anak yang sholeh dan sholehah. Yang kelak menjadi para tentaraMu. Harapanku, istrinya Sandi menjadi istri sholehah yang Sandi harapkan. Istri Sandi menjadi ibu yang sholehah untuk anak-anaknya Sandi. Kelak. Dan juga, Sandi bisa menjadi suami terbaik untuk istrinya. Ayah terbaik untuk anak-anaknya kelak. Pemimpin terbaik bagi keluarganya. Pemimpin yang bakal menggiring mereka semua ke surgaMu, ya Robb…

Ya Allah, ya Robb… Engkau yang memegang segala takdir. Baik buruk hanya standarMu yang terakurat. Tolonglah, berikan takdir yang terbaik untuk Sandi dan keluarganya. Takdir yang terbaik baik dari standarMu maupun standar manusia sebagai makhluk yang lemah. Ya Robb, sungguh mereka layak untuk senantiasa Engkau hujani dengan rahmatMu yang tak akan pernah habis…”

****

Diantara peristiwa-peristiwa itu, ada peristiwa lain yang terselip.
Ramadhan kelas satu SMA.
Aku dengan Sandi berbeda desa. Tapi itu bukan hambatan untuk aku dengannya menyudahi bertemu. Aku dengannya masih bisa bertemu. Keadaan ini diuntungkan dengan salah seorang kakaknya rumahnya satu desa dengan rumah orang tuaku. Aku dengannya menjalani ramadhan bersama, puasa bersama, pun tarawih bersama, di masid yang sama. Masjid Baiturrahman. Aku ingat itu. Pun di salah satu malam ramadhan di tahun itu. Malam itu sejak sore angin berhembus dengan cukup kencang. Malam menunjukkan gelapnya yang berlebihan karena awan-awan bermuatan air hujan akan segera turun. Menjelang isya keadaan sedikit mendramatis. Tapi nggak menghalangi aku dengannya pergi tarawih. Sebelum adzan berkumandang, Sandi udah datang kerumahku. Bersama keponakannya. Dia nyamper aku buat berangkat. Dan aku berangkat dengan Kusuma adikku. Karena keadaan nggak karuan, menyempatkanlah aku buat bawa payung. Payung yang besar, hitam. Cukuplah buat berempat ketika pulang nanti, kalau hujan. Perjalanan berangkat ke masjid diiringi canda, gelak tawa dari aku, Sandi, adikku dan keponakan Sandi. Benar-benar hari yang membahagiakan. Saking bahagianya aku menutup mata, nggak melihat hujan udah menanti akan turun dengan sangat deras. Hujan yang sesungguhnya.

Tarawih dilaksanakan dengan khidmat. Begitu juga hujan turun dengan khidmat di luar masjid. Selesai tarawih, dilanjutkan dengan tadarus. Di saat tadarus inilah….

Ngeng, ngeng, ngeeng.. dren, dren, dreeennn….
Motor ayahku datang ke masjid. Rupanya menjemput anak-anaknya yang tercinta. Aku bingung harus gemana. Ntah harus gemana. Aku maunya pulang, aku nggak mau pulang dengan ayahku.. aku mau pulang bareng Sandi. Toh ada payung.. mau nolak jemputan ayahku, aku takut ayahku marah.. aku nggak tahu harus gemana. Benar-benar nggak tahu…

Lalu dengan sangat kejam..
Tanpa menoleh kepada Sandi, aku keluar masjid dan pulang bareng ayahku.. dan bodohnya aku, aku bahkan nggak sempat lagi meminjamkan payung kepada Sandi…

Aku sungguh kehilangan muka…
Aku marah, aku kesel, aku sedih… tapi, ah ntahlah…
Sampai ke rumah, nggak bisa kutahan lagi, aku berlomba dengan hujan di luar. Menumpahkan air mata penyesalan yang nggak ada gunanya, air mata kebingungan. Ini hujan yang sesungguhnya. Aku menangis, bahkan ketika aku menuliskan prasasti kesalahanku kepada Sandi di buku Dairiku. Bahkan aku tidak bisa melihat dengan jelas tulisan-tulisan kata-kata yang ditarikan pena yang terselip diantara jemariku. Aku sungguh-sungguh menulis dengan hatiku. Perlu dituliskan bahwa, jarak masjid dengan rumah kakaknya Sandi lebih jauh daripada rumahku ke masjid.

Keesokan harinya ketemu Sandi, ketika bikin wadai buat lebaran di rumah nenekku. Dia meluahkan kekesalannya ke aku, tapi sedikit, soalnya lagi puasa. Ntar takutnya batal. Dia bilang betapa jahatnya aku. Dia juga bilang nggak mau tarawih bareng aku lagi. Dan dia, ucapannya benar-benar diijabah oleh pemilik hatinya. Untuk salahku ini, aku hanya bisa minta maaf, dan minta maaf…

Peristiwa lain diakhir tahun 2007.
Bulan itu adalah bulan dia lahir. Sandi. Dan jarak aku dengannya cukup untuk nggak memungkinkan ketemuan. Aku ingin juga merayakan hari lahirnya bareng dia, walau telat. Aku sudah menyusun strategi buat liburan semester saat itu. Ketika aku dengannya bertemu. Lalu terlaksanakanlah skenario itu. Dibuat seolah aku marah ke Sandi. Dianya bingung, kenapa aku marah.. sampe merah padam mukanya. Duh, saat itu aku sungguh ingin menangis, merasa bersalah dan nggak tega marahin dia. Tapi aku sungguh ingin buat surprise buat dia. Tapi aku salah, aku kebablasan. Suatu keadaan, aku malah memaki dia dengan satu kata yang sampai saat ini, tiap kali aku mendengarnya, aku selalu teringatkan peristiwa ini. Aku memaki Sandi dengan mengatakan, “Kamu itu munafik…, dan bla, bla, bla…”. Sandi bengong. Lalu, “apa? Aku munafik? Kamu sadarkan dengan apa yang kamu katakan?” tanyanya. “Iya.” Kataku datar, karena saat itu aku udah nggak tahan mau nangis melihat ekspresinya. Ketika keadaan memuncak, mengalirlah ucapan selamat hari ulang tahun kepadanya. Tapi itu nggak berarti apa-apa ternyata untuk Sandi. Kata “munafik”lah yang lebih berbekas dihatinya. Ketika semuanya berakhir, aku menangis sejadi-jadinya menyesali apa yang ku katakana kepada Sandi. Sungguh, akulah yang munafik. bukan Sandi. Tapi nasi sudah jadi bubur. Dan mau dibuat bubur ayam juga, nggak ada ayamnya. So, ntah harus gemana ini. Niat hati mau buat surprise, malah menambah daftar kesalahanku, celaku di hatinya Sandi. Sejak saat itu aku berjanji nggak akan menggunakan kata-kata itu untuk siapapun, kecuali kalau keadaan memerlukan aku untuk melafalkan hadits Rasul tentang munafik. Satu hal yang harus dicatat, saat itu, adalah saat-saat udah lewat dari tanggal lahirnya. Istilahnya udah kadaluarsa merayakan hari lahirnya. Darinya, dari kejadian itu, sejak saat itu aku tidak mau lagi yang namanya ngerjain orang yang ulang tahun. Aku, Aisyah, memproklamasikan dalam diri aku, bahwa seorang Aisyah pantang ngerjain orang yang berulang tahun titik.
“Sandi maafkan aku. Kamu manggil aku Mother dengan baik, malah aku menyakiti kamu pas di hari ibu. Maafkan aku…” runtukku seorang diri.

****

Dari Sandi.

Meskipun tertatih, aku memahaminya. Pada akhirnya aku belajar. Belajar bahwa kedekatan tidak akan menjamin bisa saling memahami. Dan hatiku, perasaanku, aku belajar bahwa mencintai seseorang bukanlah selalu bersamanya. Mencintai itu, ketika melihat orang yang kita cintai bersama orang lain yang dicintainya, maka kita akan mendoakan dengan ketulusan hati yang termurni, supaya dia hidup bahagia dengan orang tersebut.

****

Lamat-lamat. Sajadah Panjang-nya Bimbo mengalun, mengisi, memenuhi rongga telingaku, yang terus dibalut kesunyian malam-malam, di sepetak kamar kos.

(setelah membaca surat-surat CintaNya. Palangka Raya, 21 Juni 2013 ketika malam mulai merangkak 23:01)

setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapatnya. Ayo gunakan Hak Anda dengan baik.